Tragedi Tribun Selatan; Sebuah Catatan Hitam Hingga Mempertanyakan Kredibilitas Pemberitaan


Jum’at 6 April 2018 lalu PSM Makassar menjamu Persela Lamongan di Stadion Andi Mattalata Mattoanging, Makassar. Dibandingan pertandingan kandang sebelumnya saat melawan PSIS Semarang, animo suporter untuk datang ke stadion jauh lebih besar meski disiarkan secara langsung di televisi. Nyaris hanya pada tribun terbuka bagian timur yang sedikit lengang jika dibandingkan sebelumnya yang selalu penuh dengan basis suporter The Macz Man. Maklum saja, beberapa waktu sebelum pertandingan, panitia pelaksana menetapkan kenaikan harga tiket untuk tribun tersebut yang biasanya Rp 30.000 naik menjadi Rp 35.000.
Mendadaknya perubahan tarif tiket tersebut membuat suporter The Macz Man yang berjumlah ribuan berbondong-bondong terpaksa bergeser ke arah tribun terbuka selatan, tepat di belakang gawang. Protes kemudian disuarakan oleh mereka. Sekitar lima menit sebelum kick off, dipandu oleh Jenderal Lapangan (Jenlap), Andi Muh Faisal atau populer dipanggil Ichal ini menyanyikan chants bernada protes “Manajemen Goblok!” berkaitan kenaikan tarif tiket tribun timur. Tak ada tanggapan dari manajemen.
Kick off dimulai tepat waktu, sepanjang babak pertama semua suporter PSM seperti biasa bernyanyi dan beberapa kali harus terdiam tatkala PSM kebobolan dua gol berbalas hanya satu gol di babak pertama. Kecewa dengan penampilan tim kebanggaannya, suporter mulai bereaksi dengan menghujat penampilan para pemain, puncaknya saat Riky Mokodompit melakukan blunder dengan gagal menahan bola mudah hasil sepakan bebas Matsunaga Shohei di babak kedua. Skor 1-3.
Penulis yang saat menonton pertandingan berada di tribun selatan tiba-tiba kaget saat ada keributan di tribun yang sama tepat di belakang gawang. Pandangan yang sebelumnya fokus melihat pertandingan tiba-tiba teralihkan dengan puluhan (sekitar 30-50an) orang yang menyerang kelompok suporter lainnya. Penulis yang memang sudah biasa nonton di tribun selatan kemudiaan dengan mudah mengetahui bahwa yang diserang adalah kelompok suporter PSM Fans 1915.
Puluhan orang yang menyerang tersebut secara membabi-buta menyerang apa saja yang ada di hadapannya. Anggota PSM Fans yang panik kemudian berlari untuk mencari perlindungan, ada yang bersembunyi dibalik suporter lain, ada yang melompat dan menyebrang ke dalam tribun VIP selatan, ada yang melompat ke dalam lapangan, bahkan ada yang nekat melompat dari pagar kawat yang membatas tribun dengan sisi luar stadion setinggi kurang lebih lima meter.
Mereka yang nekat melompat ke tribun lain dan ke luar stadion itu dikarenakan pintu masuk terdekat dari tribun VIP selatan, tertutup. Tidak seperti biasanya.
Serangan di dalam tribun ini dilakukan oleh sekelompak orang yang secara buas lari dari arah kerumunan dimana kelompok The Macz Man berkumpul. Orang-orang tersebut tidak melakukan aksinya dengan tangan kosong. Penulis sendiri melihat secara langsung di depan mata ada dua busur yang siap menancap tubuh siapa saja yang dikenanya. Seseorang yang penulis ajak cerita setelah penyerangan itu- anggap saja Si A (demi alasan keamanan, narasusmber tidak disebutkan identitasnya) bahkan mengatakan ada tiga busur dan sebuah parang yang ia lihat. Kalau kayu dan bambu, saya yakin semua penonton di tribun selatan, bahkan di luar tribun tersebut melihatnya beterbangan mencari korban.
Kejadian keji tersebut tercatat menimbulkan beberapa korban dan kerugian. Seorang kakek yang sudah renta mengalami patah kaki akibat terinjak kerumunan penonton yang panik melihat penyerangan tersebut. Penjual songkolo’ yang adalah seorang ibu-ibu juga harus menerima kenyataan lapakannya hancur akibat serangan dan kayu-kayu penyangga lapakannya digunakan penyerang untuk menghajar. Tak terhitung banyaknya korban yang mengalami luka-luka. Baik anggota PSM Fans maupun yang bukan, baik yang terhitung mendapatkan perawatan Rumah Sakit maupun tidak.
Persis disamping penulis, seorang anak kecil yang penulis yakin masih menginjak sekolah dasar menangis sambil memeluk ayahnya yang nonton bersamanya. Terlihat jelas oleh penulis ia menangis sembari masih memegang erat sebuah gelas plastik air mineral yang sepertinya baru saja ia minum setelah dibelikan ayahnya.
Selama kurang lebih 15 menit, penyerangan yang dilakukan oleh beberapa diantaranya menggunakan penutup wajah dan tentu saja ‘perkakas’ itu berteriak “Tidak ada Ultras disini!”, “Siapa pakai Adidas disini!”, “apa kau melawanko?” diiringi kata-kata tak senonoh.
Sepanjang penyerangan, Polisi dan aparat pertandingan lainnya yang ada di depan pagar tribun hanya menonton sembari menenangkan penonton dengan suara yang sama sekali hanya mungkin terdengar oleh orang disampingnya. Padahal disaat yang sama, penonton yang berada di tribun selatan mulai dari orang tua yang memang biasa terlihat menonton PSM disana hingga seorang wanita remaja yang berulang kali dengan suara yang keras memanggil aparat untuk masuk ke dalam tribun untuk menetralkan situasi. Namun tak ada langkah lebih serius yang diambil aparat dibanding sekedar menonton di depan pagar tribun.
Beberapa waktu setelah penyerangan terjadi, Ichal, Jenlap Macz Man yang sebelumnya turun ke lapangan untuk mencoba berbicang dengan aparat terkait kejadian di dalam tribun kemudian tiba-tiba naik ke atas pagar tribun yang biasanya digunakan capo PSM Fans untuk mengiringi anggotanya ber-chants.
Tampak Ichal berdiri di pagar tribun yang biasanya dipakai Capo PSM Fans 1915

Sekitar dua minggu sebelum hari tersebut, melalui akun instaramnya (@ichalozil) ia memang bersuara bahwa akan membentuk The Macz Man Curva Sud (Curva Sud merujuk pada area tribun selatan yang berbenuk kurva). Padahal seperti diketahui, tribun selatan adalah tempat dimana kelompok suporter Kopaskar dan PSM Fans berbagi tempat untuk memberi dukungan terhadap pemain PSM setiap laga berlangsung.
Seorang kawan yang baru bertemu di tribun beberapa saat sebelum pertandingan berakhir tiba-tiba menyapa penulis dengan wajah panik dan keringat yang mengucur di wajahnya. Ia yang memang penulis tahu adalah seorang anggota PSM Fans memohon agar mau menemaninya keluar dari stadion dengan aman. Menunggu kondisi hingga lebih kondusif, bersama dengan teman yang sedari awal pertandingan menonton bersama beranjak keluar dari stadion.
Setelah pertandingan selesai, beberapa media memberitakan kejadian yang berlangsung di tribun selatan tersebut. Sekjen The Macz Man (dalam makassar.sindonews.com) menyebut bahwa The Macz Man tidak bermaksud menyerang melainkan meminta penjelasan terkait terlukanya salah satu pengurus The Macz Man yang diduga dilakukan oleh anggota PSM Fans pada salah satu pertandingan PSM pada turnamen Super Cup Asia beberapa waktu lalu. Pernyataan ini secara tidak langsung mempertegas bahwa pelaku penyerangan adalah dari pihak The Macz Man.
Penulis kemudian mencoba melakukan riset kecil-kecilan untuk mengidentifikasi berbagai pemberitaan liar media dan akar masalah, mengapa ini terjadi dan siapa dalangnya dengan menelusurinya langsung ke pihak PSM Fans dan The Macz Man.
Penelusuran dimulai dari pihak PSM Fans. Ia mengawali dengan menceritakan sebuah kejadian yang penulis tidak sempat lihat di luar stadion setelah pertandingan usai. Penyerangan ternyata kembali dibeberapa ruas jalan. Ia menyebut bahwa di Jalan Mappanyukki dan Jalan Lanto Dg. Pasewang. Sementara di beberapa media juga disebutkan Jalan Maccini, Jalan Andi Djemma, dan yang viral terjadi di Jalan AP Pettarani yang menyebutkan ada dua orang yang terkena sabetan parang. Salah seorang anggota yang tidak mau disebutkan identasnya ini (sebut saja Si B), mengatakan bahwa akar dari pertikaian ini bermula bahkan sejak PSM Fans akan berdiri tahun 2013. PSM Fans yang mengadopsi kultur suporter sepak bola ala Italia yang disebut Ultras ini dianggap tidak cocok di Mattoanging. Diketahui bahwa Ultras memang biasanya berkaos serba hitam dan berada di belakang gawang sambil bernyanyi 2x45 menit serta sekali-kali membuat coreo. Hal inilah yang dianggap tidak pantas hadir dan berkembang. Ia menyebut dua nama yang dianggap paling kontra dengan keberadaan PSM Fans sejak lama. Ia menyebut nama mantan dirijen The Macz Man yang disebut-sebut adalah saudara, C serta A (inisial). Dan kini Ichal lah yang mewarisi kebencian tersebut.
Untuk mengonfirmasi hal tersebut, Penulis mencoba menelusuri informasi ke salah seorang anggota The Macz Man. Ia adalah SI C (anonim) salah seorang mantan ketua sebuah anak organisasi The Macz Man. Ia mengakui bahwa dua nama yang disebutkan anggota PSM Fans tersebut benar. C dan A sebenarnya sudah lama tidak aktif di The Macz Man, tetapi baru saja kembali turut serta dan dianggap bertanggugjawab atas doktrin ‘Anti-Ultras’ atau sinonim dengan ‘Anti-PSM Fans’.
Salah seorang kawan wanita yang juga merupakan anggota The Macz Man memberikan informasi yang lebih mencengangkan melalui direct message Instagram. Ia yang berada di tribun selatan bersama ribuan anggota The Macz Man lainnya sesaat sebelum penyerangan tersebut menyanyikan sebuah chants dengan nada mengejek PSM Fans :

Ini Kota Makassar, Bukan Italia. Makan Jalangkote Tapi Bilang Ale-Ale.

Setidaknya inilah penggalan bait chants yang terdengar setelah penulis menonton video yang dikirim untuk membuktikan pengakuaannya.
Ia lanjut berujar bahwa sebelum melakukan penyerangan, para pelaku mendapati aba-aba oleh Ichal dari atas tribun. Mereka berlari dari bawah tribun dengan membawa ‘perkakas’ sambil berteriak seperti yang penulis telah sebut sebelumnya. Dari atas pagar, Ichal menyerukan para pelaku penyerangan untuk menyisir semua yang memakai produk adidas dan tanpa segan ‘menyikatnya’. Adidas ditujukan bagi mereka yang berpakaian kasual. Kasual adalah subkultur suporter sepak bola dari Italia dan Inggris. Yang lucu adalah Ichal sendiri berpakaian kasual dengan tracktop merk Fila dan sepatu Adidas seri original.
Sudah menjadi rahasia umum dalam kalangan suporter The Macz Man bahwa internal mereka tengah mengalami perpecahan. Ini diakui oleh teman-teman penulis yang merupakan anggotanya. Kesakithatian Ichal dengan turut pecah di tribun selatan waktu itu. Ia memukul salah seorang anggota The Macz Man Stiem Bongaya yang dianggapnya sebagai pengkhianat, Bagas. Bergulir wacana bahwa Bagas telah berkhianat dan keluar dari The Macz Man, padahal Bagas masih terdaftar secara resmi sebagai anggota The Macz Man sektor Stiem Bongaya.
Tak terima salah satu anggotanya mengalami kekerasan, pengurus The Macz Man Stiem Bongaya membuat surat resmi tertulis yang mengecam tindakan Ichal dan meminta agar Ichal dicopot sebagai Jenlap. Surat ini ditujukan kepada Pengurus Markas Besar The Macz Man Indonesia. Ini terlihat dari postingan akun resmi instagram mereka, @themaczmanstiem. Bahkan mereka nekat membawa kasus ini ke ranah hukum jika tuntutan mereka tidak terwujud.
Hingga tulisan ini disusun, belum ada penjelasan resmi dari pihak-pihak yang bersangkutan terkait korban-korban yang jatuh saat penyerangan, pertanggungjawaban kasus penganiayaan terhadap Bagas, hingga kemungkinan adanya kesengajaan yang dilakukan berbagai pihak sehingga tragedi di tribun selatan itu terjadi. Namun berdasarkan kronologi di atas, jelas siapa yang harus bertanggungjawab.
Penulis sendiri selain tentu saja mengecam tragedi tersebut, juga mempertanyakan peran aparat yang harusnya mengamankan situasi di tribun selatan justru tinggal diam. Tak luput juga panitia pelaksana yang diduga turut main pada kejadian ini. Penulis bahkan berasumsi secara liar bahwa kenaikan harga tiket untuk tribun timur juga beririsan pada tragedi ini.
Kita membayar tiket untuk menonton sepak bola di stadion dengan aman. Seturut itulah mengapa aparat harus ada di stadion. Tapi bukannya melindungi, malah hanya menonton seolah mereka adalah orang-orang yang mendapat tiket gratis nonton PSM, melupakan peran dan tugasnya.
Penulis ingin menyampaikan ulang sebuah pesan yang juga pernah dilakukan pemain PSS Sleman pada sebuah pertandingan di Liga 2 musim lalu saat merespon jatuhnya korban-korban yang awalnya hanya ingin menonton sepak bola dengan aman di stadion;

Jika Sepak Bola Lebih Mahal Daripada Nyawa, Maka Kami Lebih Baik Hidup Tanpa Sepak Bola. 



DITULIS OLEH SEORANG SUPORTER TRIBUN SELATAN YANG SAHABATNYA MENJADI SALAH SATU KORBAN.

Komentar

Posting Komentar